SUMUT DISCUSSION CLUB III

OJK Perlu Mendorong Perbankan Berdaya Saing Kuat

Senin, 09 November 2015 11:11:13 oleh Bayu Angga Wijaya | berita sebelumnya | berita selanjutnya

Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Ecconomic Community (AEC) , Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) perlu mendorong terbentuknya bank-bank yang kuat dan memiliki daya saing kuat. Hal tersebut disampaikan dalam Talk Show Sumut Discussion Club (SDC) yang digelar Universitas Prima Indonesia (Unpri) dan RE Foundation dengan tema "Peran OJK dan Kesiapan Dunia Perbankan Sumut Dalam Menghadapi MEA 2015", di ruang serba guna Rumah Sakit Royal Prima Medan, Kamis (27/8).

SDC yang dipandu Dr. RE Nainggolan, M.M., tersebut menghadirkan narasumber dari OJK Lukdir Gultom selaku Direktur Pengawasan Bank KR 5 Sumatera OJK, perwakilan BI Budi Trisnanto, kalangan akademisi Prof. Polin Pospos, Kasim Siyo, Wahyu Ario Pratomo, perwakilan perbankan, BPS, Pegadaian, Ketua LPJK Murniati Pasaribu, Ketua Inkindo Ricardo Manurung, serta dihadiri Ketua BPH Unpri DR Tommy Leonard, S.H., M.Kn., Rektor Prof. Djacobus Tarigan, AAI., DAAK., Wakil Rektor I Seno Aji, S.Pd., M. Eng. Prac., dan jajaran dekan lainnya, serta para undangan.

Akademisi dari USU Wahyu Ario Pratomo menyebutkan, dalam MEA nantinya akan ada tantangan bagi OJK dan perbankan di dalam negeri, baik tantangan secara internal maupun eksternal. Secara internal, saat ini OJK sudah semakin besar, tugas dan fungsinya juga semakin komplit. Awalnya OJK penggabungan antara fungsi pengawasan perbankan dari BI dan fungsi pengawasan pasar modal-lembaga keuangan dari Bapepam-LK. Namun sekarang bertambah, mengatur dan mengawasi industri perbankan, Industri Keuangan Non Bank (IKNB) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

"Tantangannya yang diawasi OJK sangat besar sekali dan membuat institusi ini menjadi super. Namun apakah ini bisa berjalan dengan baik? Tentunya, OJK harus menyiapkan tenaga Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal agar bisa menjalankan fungsinya dengan baik", ujarnya. Selain itu, biaya operasional OJK akan semakin besar, yang awalnya ditanggung pemerintah, ke depan akan dibebankan kepada industri keuangan yang diawasi. Tentunya dalam hal ini industri jasa keuangan tidak mau rugi dan akan membebankan biaya tersebut dengan menaikkan bunga pinjaman, dan akhirnya yang akan dibebankan kepada masyarakat.

Tantangan selanjutnya, telah dicabutnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPKS) telah disepakati untuk dicabut. Ini akan sangat berbahaya, ketika terjadi krisis keuangan yang berdampak sistemik, karena tidak ada yang bertanggungjawab.

"Apalagi saat ini Rupiah melemah di level 14.000 dan sudah mengkhawatirkan, tentunya yang paling terkena dampaknya adalah perbankan, karena banyak kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi perbankan dalam mata uang asing (valas). Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan Bank Century harus di Bailout", ujarnya.

Wahyu menyebutkan, kalau hal ini tidak segera diantisipasi, dikhawatirkan kalau terjadi adanya bank yang gagal bayar, ini bahaya. Tidak ada yang akan bertanggungjawab. Siapa yang mau bertanggungjawab, apakah bank tertentu mau diselamatkan atau tidak. Walaupun dalam UU OJK ada Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).

Tantangan secara eksternal, di pasar MEA, akan ada terjadi aliran bebas, barang, jasa, investasi dan kapital. Perbankan Indonesia akan bersaing dengan bank-bank besar dari negara tetangga yang dapat memberikan sumber pembiayaan perbankan dengan bunga murah seperti dari Singapura dan Malaysia, sedangkan di Indonesia pembiayaan pinjamannya dengan bunga yang tinggi.

Oleh karena itu, OJK dan BI perlu mendorong terbentuknya perbankan yang kuat dan memiliki daya saing. Selain itu, pengawasan perbankan dan IKNB penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. "Pemerintah harus segera merancan cetak biru tentang konsolidasi antarbank. Terutama untuk menciptakan bank dengan aset yang besar di Indonesia", sebutnya.

Sementara itu, Lukdir Gultom selaku Direktur Pengawasan Bank KR 5 Sumatera OJK menyampaikan, dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan, antara lain kewajiban pemenuhan modal minimum bank, sistem informasi perbankan terpadu, kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing dan pinjaman komersial luar negeri, dan lain sebagainya.

Terkait dengan menghadapi MEA, OJK menilai pentingnya mendukung integrasi perbankan Asean dalam memajukan bisnis perbankan nasional yang lebih luas, efisien dan stabil di kawasan Asean. Sehingga OJK menyepakati untuk menandatangani heads of agreement dalam rangka perjalanan menuju implementasi Asean Banking Integration Framework (ABIF) pada 2020 mendatang.

Menurutnya, ABIF bagi Indonesia adalah adanya peluang dan potensi bagi perbankan dan pelaku bisnis Indonesia untuk melakukan ekspansi ke pasar Asean. Ke depan akan terbuka peluang yang lebih besar kepada perbankan Indonesia untuk mendapatkan akses pasar dan kegiatan usaha yang lebih luas di kawasan Asean, dimana, QAB (Qualified ASEAN Bank) asal Indonesia akan mendapat perlakuan sama dengan bank lokal.

Salah seorang narasumber saat memberikan tanggapan dalam Sumut Discussion Club III.


Berita Seputar Universitas:

Berita Lain:

Berita Halaman Depan: